Uncategorized

Lesunya Surga Elektronik Glodok

JAKARTA — Ricky Linardi tampak duduk bersama beberapa pedagang lain di sebuah kursi panjang, di depan toko elektronik miliknya, di Lantai 3 HWI Lindeteves Glodok, Jakarta, Jumat (4/8). Di sekitarnya, lorong-lorong panjang tampak sepi karena toko-toko telah tutup. 

“Ini sampai kita bisa ngobrol gini. Mau main catur juga bisa,” kata dia menggambarkan betapa sepinya kondisi di lantai tiga. 

Ia mengatakan, penurunan penjualan sangat terasa. Ia kini dapat bersantai bersama teman, tak lagi sibuk mengurus barang pesanan. Telepon di sampingnya juga tak terdengar berbunyi sepanjang obrolan kami. 

“Duduk aja di sini nanti sampai jam 16.00 WIB. Nanti dilihat sendiri ada nggak yang lewat. Paling ya begini-begini aja. Orang lewat pun nggak ada yang tanya,” kata dia. 

Ia mengatakan, kondisi ekonomi memang sedang surut. Tak heran, daya beli masyarakat pun lesu.  Harga barang kebutuhan pokok yang melambung juga membuat masyarakat lebih irit berbelanja. Selain itu, adanya kebijakan import diduga turut berperan menurunkan daya beli masyarakat. 

“Barang mahal. Karena impor macet. Import sekarang kan dikasih kuota,” kata dia.

Ricky pertama kali membuka toko di HWI Lindeteves Glodok sejak 1999. Ia mengaku membeli lahan itj seharga Rp 20 juta per meter. 

Pada awalnya, kondisi HWI Lindeteves Glodok sangat sepi. Pusat elektronik ini pernah mengalami kejayaan pada 2005-2006. 

“Sekarang sepi lagi,” ujar dia. 

Menurut Ricky, banyak pemilik toko tak mau memperpanjang masa kontrak sejak sejak 2013. Harga sewa toko sudah mahal, sementara daya beli masyarakat tidak tinggi. Mereka merasa harga sewa yang ditetapkan dianggap tidak sesuai dengan potensi keuntungan yang akan diperoleh. 

Di tokonya, Ricky membutuhkan dana sekitar Rp 2 juta untuk perawatan, Rp 300 ribu untuk listrik, belum termasuk telpon dan gaji pegawai. 

“Di sini listriknya argo kuda lho. Beda sama rumah. Di sini saya nggak pakai apa-apa habis Rp 300 ribu. Yang pakai AC bisa sejuta. Mending di rumah pakai AC, kulkas, segala macam nggak sampai segitu,” kata dia.  

Menurut Ricky, tokonya bertahan sebab masih ada pelanggan dari lantai satu dan dua. Ia mengaku jarang ada pembeli yang berasal dari luar. 

Minimnya promosi yang dilakukan oleh PD Pasar Jaya juga dianggap berpengaruh pada lesunya minat masyarakat untuk datang ke Glodok. “Nggak ada promosi. Kita promosi sendiri aja bayar,” kata dia. 

Ia berharap Glodok bisa kembali ramai dan biaya operasional toko yang terkait dengan kebijakan pasar tidak terlalu tinggi. 

Melihat kondisi ini, Lindeteves bagai hendak dilindas zaman. Sebab, di masa lalu kawasan ini sangat populer. 

Menurut sejarahnya, Lindeteves merupakan pusat penjualan alat-alat berat di bawah NV Lindeteves Stokvis & Fa. Ini merupakan salah satu unit usaha pabrikan kontruksi baja terkemuka di masa pendudukan VOC. 

Lindeteves berkantor pusat di Semarang. Sejumlah kantor cabang beroperasi di kota-kota besar lain di Jawa. Perusahaan ini juga memiliki anak perusaahaan seperti NV Rotterdam Internatio, NV Borsumij Maatschappij, NV Geo Wehry, dan NV Jacobson Van den Berg. 

Salah satu kantor Lindeteves yang cukup terkenal berada di Surabaya. Gedungnya dirancang khusus oleh Biro Arsitek Hulswit, Fermont & Ed Cuypers dari Batavia dan mulai dibangun pada sekitar 1910.

Ketika itu, Lindeteves menguasai jaringan bisnis perdagangan, produksi, jasa, industri, dan distribusi di sejumlah negara. Pasar Lindeteves diperbarui menjadi Pusat Perdagangan Lindeteves. 

Terletak di pusat perdagangan Glodok, sejak puluhan tahun lalu Lindeteves dikenal sebagai pusat perkulakan alat-alat berat dengan konsumen dari seluruh Indonesia. Kini pasar tersebut berada di bawah pengelolaan UPB Pasar HWI Lindeteves. Berdasarkan data pengelola, kini pasar itu menempati lahan seluas 4.533 m2 dengan luas bangunan 25.993 m3. Bangunan terdiri dari basement, lantai dasar, dan lantai 1-4. 

Sepinya pembeli tampaknya memang sudah menjadi bahan perbincangan di antara para pedagang. Selain Ricky, Muhammad Ma’ful mengeluhkan kondisi yang sama. 

“Kita pakai nominal saja ya. Omzet saya biasanya Rp 100 juta per bulan. Sekarang paling 15 juta,” kata dia. 

Menurut dia, sepinya pembeli sudah terasa sejak awal tahun, bahkan sejak tahun lalu. “Para pedagang di sini mengeluh semua. Entah faktor apa tapi kami, pelaku usaha, benar-benar merasakan grafik (penjualan)-nya menurun drastis,” kata Ma’ful. 

Ia tak menampik kehadiran pasar elektronik online berpengaruh pada minat orang pergi ke Glodok. Ia mengaku beberapa pedagang di Pasar Glodok memutuskan untuk membuka lapak online dan offline demi mendapatkan lebih banyak pembeli. 

“Karena mereka nggak bisa menunggu orang datang untuk membeli. Saya pun ada inisiatif mau buka online,” kata dia. 

Ma’ful menambahkan, hanya pedagang-pedagang yang kuat mampu bertahan di Glodok. Dengan kondisi seperti sekarang, ia mengaku kesulitan menutup biaya sewa Rp 25 juta per tahun.  Jaringan dan langganan menjadi kekuatan untuk bertahan. 

Sepinya pembeli tak hanya terlihat di HWI Lindeteves Glodok, namun juga merambah ke Jembatan Milenium dan Pasar Glodok City. Jembatan Milenium terlihat paling ramai, sebab lalu lintas orang masih cukup banyak. Namun, sederet toko pakaian tampak tutup. Di Pasar Glodok City kondisi dari lantai ke lantai makin ke atas makin sepi. 

Pedagang di Lantai 3 Pasar Glodok City, Sebastian Jeffry, memprediksi kondisi yang sama juga mungkin terjadi di pusat-pusat elektronik lain seperti Roxy dan Mangga Dua. Sebab, menurut dia, ini merupakan imbas dari kebijakan import. 

“Semenjak nggak boleh import borongan, itu efeknya gede sekali. Barang dari pelabuhan kan nggak bisa keluar. Eksportir udah closing order sejak 1 Januari. Sudah ngurangi order,” kata dia. 

Menurut Jeffry, lesunya penjualan tak hanya akan berdampak pada pengusaha offline, namun juga online. Saat ini, pedagang elektronik online masih mempunyai ‘napas’ lebih panjang sebab ada stok barang dari para pedagang offline. Namun, dalam satu hingga dua bulan ke depan, jumlah barang akan semakin turun. 

Dampak dari minimnya persediaan barang kini mulai terasa. Ia mengaku sulit mencari barang untuk dijual. Selain itu, ada kenaikan harga rata-rata antara 25-30 persen. 

Bicara tentang penurunan omzet, ia enggan menyebut angka. Namun, penurunan terjadi antara 50-60 persen. 

“Untuk saat ini ya, tapi nggak tahu ke depan kaya apa,” ujar dia. 

Ia mengaku tak berharap muluk. Ia ingin, minimal, hasil yang dicapai seimbang dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Ia juga berharap pemerintah melakukan upaya lain untuk meningkatkan daya beli masyarakat. 

“Saya ngerti pemerintah melarang import borongan untuk mendapatkan biaya masuk per item. Tujuannya bagus, tapi efeknya ini. Kita kena efek domino,” kata Jeffry. 

Lesunya Glodok tak hanya berdampak pada para pedagang barang-barang elektronik, namun juga pengusaha makanan. Di pusat makanan (foodcourt) HWI Lindeteves Glodok, tak satu pun pembeli tampak sejak pukul 10.00 WIB hingga mendekati tengah hari. Meski lebih ramai, meja-meja di pusat makanan di Pasar Glodok City lebih banyak yang kosong.

Walaupun begitu, para pedagang tampak sibuk memasak dan mengantarkan makanan. Seorang pedagang nasi padang di foodcourt HWI Lindeteves Glodok, Rahmat Zainudin, mengaku pendapatannya turun 25 persen sejak masuk pertama kali tiga tahun lalu.

“Sekarang kayanya sepi. Pengunjung di sini masih kurang banget. Makanya karyawan keliling nawarin ke toko,” kata dia. 

Sri Handayani

Leave a comment