Uncategorized

Alih Wahana yang Kurang Tuntas dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Suatu hari di Bentara Budaya Jakarta, Sapardi Djoko Damono ditanya tentang film Hujan Bulan Juni yang diadaptasi dari salah satu bukunya. Sapardi enggan mengomentari. Baginya, Setiap karya sastra, apapun wahananya, pada dasarnya berdiri sendiri. Di kesempatan lain ia pernah mengatakan bahwa wahana adalah medium yang dimanfaatkan atau digunakan untuk mengungkapkan sesuatu. Wahana adalah alat  untuk membawa  atau memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain—“sesuatu” yang dapat berupa gagasan, amanat, perasaan, atau sekadar suasana. 

Saya menangkap ucapan Sapardi ketika itu sebagai sebuah pemisah antara buku Hujan Bulan Juni karyanya dengan film Hujan Bulan Juni besutan Reni Nurcahyo Hestu Saputra dan penulis naskah Titien Wattimena. Artinya, karya Sapardi yang telah lebih dulu dikagumi harus tetap dipandang sebagai sebuah buku puisi dan dinilai sebagai puisi. Begitu pula film Hujan Bulan Juni, meski dialih wahana dari buku yang sama, adalah karya yang berbeda. Ia harus bisa menyampaikan makna yang utuh sebagai interpretasi dari buku tersebut.

Artinya lagi, banyaknya kritik terhadap film itu tidak mengurangi nilai dari puisi yang telah lebih dulu terbit. Begitu pula sebaliknya, kehebatan sebuah naskah asli tidak menjamin kualitas dari karya hasil alih wahana itu sendiri. Keduanya akan ‘lebih adil’ jika dipandang sebagai karya tersendiri yang musti memiliki keutuhan gagasan, perasaan, amanat, atau sekadar suasana untuk disampaikan kepada pembacanya masing-masing.

Keutuhan itulah yang membuat film itu bisa dinilai, apakah ia mampu menyampaikan pesan yang sama dengan si penulis puisi? Apakah ia meninggalkan kesan semendalam puisi tersebut? Bahkan jika tidak mampu, apakah ia sebagai karya yang terpisah mampu memberikan makna dan kesan yang baru?

Hari ini saya mengingat ucapan Sapardi itu kembali usai menonton Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan. Saya mengawali acara nonton ini tanpa membaca novelnya terlebih dahulu.

“Bagus dong,” kata Pakdhe, kawan nonton saya.

Saya memang ‘tidak mewajibkan’ diri untuk membaca buku sebelum menonton film hasil alih wahana. Terkadang, saya bahkan males nonton alih wahana film jika sudah membaca bukunya. Takut ekspektasi atau imajinasi yang sudah terbangun di pikiran saya rusak wkwk. Lebih dari itu, kembali pada pernyataan Sapardi yang juga saya amini, sebuah hasil alih wahana harus bisa dinikmati sebagai karya terpisah yang berdiri sendiri.

Who’s Behind?

Disutradarai pria asal Surabaya kelahiran 24 April 1978, Edwin, Vengeance is Mine, All Others Pay Cash (versi internasional dari Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas) berhasil menempatkan nama Indonesia untuk pertama kalinya di daftar pemenang tertinggi Locarno International Film Festival di Switzerland. Atas penghargaan ini, dua hari sebelum tulisan ini dibuat, Gatra Media Group memberikan penghargaan Ikon Prestasi Anak Negeri di Masa Pandemi kepada Edwin.

Menurut Gatra, film besutan Edwin telah beberapa kali tampil di kancah internasional. Saat masih mahasiswa, Edwin melahirkan A Very Slow Breakfast (2002) yang diputar di Toronto Reel Asian Film Festival. Film keduanya, Dajang Soembi, Perempoean Jang Dikawini Andjing (2004) tayang di empat festival berbeda dalam setahun, baik di Singapura, Jerman, Kanada, maupun Taiwan. Pada 2005, ia juga menggarap Kara, Anak Sebatang Pohon yang tayang di Cannes Film Festival, Perancis. Rasanya tak heran jika dalam filmnya kali ini, ia berhasil menggaet seniman-seniman kawakan seperti Christine Hakim, Reza Rahardian, Lukman Sardi, Djenar Maesa Ayu, Piet Pagau, Martino Lio, Ladya Cheryl, dll.

Sinopsis

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menceritakan tentang kisah cinta dan kehidupan Ajo Kawir (Martino Lio). Ajo adalah seorang jagoan asal Bojongsoang yang memiliki masalah impotensi pascaperistiwa traumatic di masa kecilnya. Karena masalah ini, ia harus menghadapi sikap toxic dari para pemuda di lingkungannya. Namun, ia seakan sudah berdamai dengan kondisi. Ia tumbuh menjadi pemuda yang tak takut mati. Selain balap liar, ia juga menjadikan perkelahian sebagai sumber penghidupannya.

Kehidupannya berubah kala bertemu dengan Iteung (Ladya Cheryl) si jago silat. Ia adalah seorang centeng yang sempat berkelahi dengan Ajo Kawir karena melindungi Pak Lebe, pengusaha yang menindas seorang janda di rumah kontrakan Ajo Kawir. Ajo Kawir berhasil memotong telinga lelaki itu dan melemparkannya kepada Iteung.

Perkelahian itu rupanya menumbuhkan benih cinta di antara keduanya. Iteung dengan cukup agresif memberikan sinyal melalui kiriman salam dan lagu-lagu di radio. Sejak bertemu Iteung, keinginan Ajo Kawir untuk berkelahi pun redam. Ia bahkan menolak tawaran menggiurkan Pak Gembul (Piet Pagau) untuk membunuh seorang jagoan bernama Si Macan (Kiki Narendra)

Sinyal dari Iteung berhasil ditangkap oleh Ajo Kawir. Suatu hari, ia menemui Iteung yang telah berhenti menjadi centeng dan bekerja di pasar malam. Mereka bercengkerama sepanjang malam, hingga Ajo berhasil memuaskan Iteung dengan tangannya.

Rasa tak percaya diri Ajo mulai muncul ketika Iteung ingin membalas perlakuan itu. Ia menolak dan pergi meninggalkan Iteung. Tak hanya itu, ia pun menghilang untuk sementara. Di suatu malam, di tengah hujan deras, Iteung mendatangi Ajo Kawir dengan marah dan menyatakan cintanya.

Momen ini menjadi awal pengakuan Ajo Kawir bahwa ia impoten. Tak disangka, Iteung menyatakan akan menikahinya meski ia impoten. Dimulailah kisah cinta antara seorang pemuda impoten dengan perempuan yang memiliki hasrat seksual menggebu-gebu, dibumbui dengan perselingkuhan dan serangkaian aksi balas dendam.

Nostalgia Era 80-an

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menggunakan seting tahun 1980 hingga 1990-an. Nuansa ini dikemas apik dan memberikan pengalaman menonton yang menyenangkan bagi angkatan 90-an seperti saya. Desain cover film ini dibuat dengan nuansa era 1980-an ketika poster-poster masih digambar, dicetak hitam putih atau hanya beberapa warna, serta font dan tata letak tulisan yang khas. Scene-scene dalam film ini juga kabarnya diambil dengan kamera analog untuk memperkuat kesan 80-an.

Nuansa 80-an juga tampak pada pakaian, atribut, dan berbagai properti. Kita akan menemui nuansa itu pada motor bebek yang tangguh, telpon rumah, radio, jaket, hingga baju hamil Iteung. Saya memberikan applause khusus kepada Ladya Cheryl kalau soal ini. Menurut saya, terlepas dari berbagai faktor-faktor lainnya, secara penampakkan sosok Iteung yang paling merepresentasikan hal ini. Cukup dengan wajah, ekspresi, rambut keriting yang menggambarkan perempuan cantik era itu, suara, dan gaya bahasanya, rasanya seperti menghadirkan memindahkan pemain era itu ke 2021.

Masa 80-an juga menjadi era kejayaan koran dan radio. Hal ini ditangkap dengan pemberitaan tentang petrus dan program Keluarga Berencana (KB) dan kegiatan berkirim salam serta lagu lewat radio. Tak lupa Edwin menambahkan detail-detail lucu seperti dengungan saat posisi telpon rumah Iteung terlalu dekat dengan radio dan perkataan penyiar yang sering kali terucap, “Bisa agak menjauh dulu dari radio?”

Salah satu yang membuat film ini unik bagi saya adalah kembalinya bahasa baku dalam film. Sebenarnya, hal ini sudah berkali-kali dilakukan di film-film yang diadaptasi dari karya tulis seperti novel. Namun, di beberapa film yang pernah saya tonton, nuansa bahasa baku ini justru merusak. Memberikan kesan ‘maksa’ dan seperti membaca teks. Namun, kini saya justru merasa diingatkan pada nuansa menonton film Rhoma Irama di era 80-an. Bagi saya, menikmati dialog baku para pemain adalah keasyikan tersendiri, kecuali sedikit ‘gangguan’ pada dialog Iteung ketika ia menyatakan cinta pada Ajo Kawir. Baku sih, tapi enggak gitu juga haha…

Deretan Tema Menarik

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memadukan isu-isu hangat saat ini dengan berbagai permasalahan sosial di masa lalu.

  1. Toxic Masculinity

Dobrakan terhadap toxic masculinity yang masih ada hingga saat ini, seperti banyak dibahas oleh media, tergambar jelas dari sosok Ajo Kawir yang impoten, namun balap mobil, biliar, dan berkelahi. Ajo Kawir diceritakan menerima cemoohan dari teman-temannya di lokasi biliar. Ia juga melakukan segala cara untuk dapat membangunkan burungnya yang tertidur. Ia diceritakan membuat seorang pelacur merasa nista karena tak mampu membuat burungnya berdiri. Sosok Iteung juga menggambarkan adanya sifat maskulin pada perempuan.

  • Kekerasan Seksual dan Pembunuhan

Kekerasan seksual dan pembunuhan adalah masalah serius yang seakan menjadi makanan sehari-hari kita. Hampir tiap hari kita menemukan berita kriminal tentang kekerasan seksual atau pembunuhan di media massa. Hal ini juga digambarkan dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Tak hanya satu, tapi banyak kasus diramu dalam satu film secara menarik. Hidup Ajo Kawir seakan dikelilingi dengan kasus kekerasan seksual.

Impotensi yang ia alami berawal dari kelakuannya mengintip pemerkosaan Rona Merah (Djenar Maesa Ayu), seorang janda yang mengalami gangguan jiwa. Karena ketahuan, Ajo Kawir dipaksa menyaksikan pemerkosaan yang dilakukan dua orang pria (Lukman Sardi sebagai Codet dan Eduwart Manalu sebagai Kumis). Ia yang ketika itu masih kecil juga dipaksa memasukkan burungnya kepada Rona Merah. Peristiwa itu menimbulkan trauma mendalam hingga menyebabkan impotensi.

Di masa dewasa, Ajo Kawir mencintai dan menikah dengan Iteung, yang tak lain adalah korban pemerkosaan. Ia diperkosa seorang guru. Di masa remajanya, ia bertemu dengan Budi Baik (Reza Rahardian). Teman seperguruan di pencak silat ini membujuk Iteung melakukan hubungan seksual dalam salah satu latihan. Hubungan ini berlanjut seperti simbiosis mutualisme sebelum munculnya Ajo Kawir dalam hidup Iteung. Budi mencarikan pekerjaan bagi Iteung, sementara Iteung melayani kebutuhan seksual Budi. Peristiwa pemerkosaan itu diikuti dengan rangkaian balas dendam, berupa pembunuhan.

  • Penyalahgunaan Jabatan

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas juga diikuti dengan kritik terhadap penyelenggara pemerintahan di era 1980-an. Mulai dari adanya penembak misterius (petrus), para pejabat dan politikus yang memiliki orang-orang bayaran untuk menyerang musuh atau lawan politik, pejabat-pejabat atau petugas pemerintah level bawah yang senang memanfaatkan situasi, dsb. Iteung yang diperkosa guru, Rona Merah yang diperkosa petugas sosial dan tentara yang seharusnya merawatnya, Ajo Kawir yang dibayar oleh politikus untuk membunuh Si Macan, dll.

Adegan Seksual

Ini pengalaman pertama saya menonton film di bioskop dengan perasaan, “Anjir kaya nonton film semi rame-rame.” Saking lumayan banyaknya adegan seksual di film ini dan cukup beruntun di bagian pertengahan. Ditambah lagi, saya menonton bersama tiga laki-laki di kanan kiri saya. Hahaha…

Saya tak tahu apakah ada kaitan antara banyaknya adegan vulgar dalam film ini dengan fenomena pelonggaran sensor film di tahun 80-an, yang berdampak pada banyaknya produksi film yang memang sarat adegan seks. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memang masuk kategori 17+. Artinya, adegan yang berkaitan dengan seksualitas hingga kekerasan boleh disajikan secara proporsional dan edukatif. Menurut Reza Rahadian, ini adalah keputusan berisiko. Dengan memasukkan dalam kategori 17+, artinya di masa pandemi ketika bioskop lebih sepi, mereka berani mengambil risiko untuk membatasi penonton yang bisa menyaksikan film ini. Terlepas dari itu semua, seperti sempat disinggung sebelumnya, film ini memang banyak berbicara tentang seksualitas dan kekerasan seksual.

Edwin membuka karakter Ajo Kawir yang impoten melalui akting aktris senior Christine Hakim. Reza memuji akting Christine sebagai ‘gila,’ ‘ngaco,’ dan tidak ada di film Christine lainnya. Ia berperan sebagai Mak Jerot, seorang pelacur paruh baya yang sering kali didatangi Ajo untuk berusaha membangunkan burungnya. Christine mengakui ia tak pernah menerima adegan vulgar selama berkarir. Film ini berhasil menggelitiknya untuk sesekali mencoba beradegan vulgar. Ia akhirnya menerima tawaran untuk adegan memegang dan mencumbu ‘perkutut’ itu. Satu scene Christine Hakim ini ditutup apik dengan salah satu kutipan, “Tak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri.”

Adegan seksual kembali muncul untuk menggambarkan dilema Ajo Kawir, seorang impoten yang mencintai seorang gadis yang memiliki hasrat seksual. Ajo Kawir diceritakan mulai membalas sinyal cinta yang dikirimkan Iteung lewat kiriman salam dan lagu-lagu di radio. Ia mendatangi Iteung yang telah berhenti menjadi centeng dan bekerja di pasar malam. Malam itu, Ajo memuaskan Iteung dengan jari-jarinya. Namun, ia menolak dan beranjak pergi ketika Iteung menawari untuk membalas perlakuan itu.

Ajo sempat menghilang dan tidak memberikan respons pada Iteung, hingga perempuan itu kehilangan akal. Suatu hari, di tengah hujan lebat, ia mendatangi Ajo dengan marah, menyatakan cinta dan mempertanyakan sikap Ajo yang tiba-tiba menghilang. Ajo pun membuka jati dirinya sebagai seorang impoten yang tak cukup percaya diri untuk berpasangan dengan Iteung. Tak disangka, Iteung justru mengatakan akan menikahi dan menerima Ajo.

Adegan seks mulai ‘merajalela’ di scene-scene antara Iteung dan Budi Baik. Kala mengetahui masa lalu Ajo yang trauma akibat dipaksa dua orang pria untuk memperkosa Rona Merah, Iteung menemui Budi dan memintanya mencari pria tersebut. Budi justru mengajak Iteung pergi berdua. Di tengah perjalanan, ia menyinggung Iteung yang tak bahagia dengan kondisi suaminya. Ia pun membujuk Iteung untuk mengulangi pengalaman seksual mereka kembali. Ia mengajak Iteung bertarung dan mengingatkannya pada pengalaman pertama dulu. Momen ini berakhir dengan hubungan seksual antara mereka berdua.

Saya jadi ingat masa-masa tahun 2000-an. Saya dan teman kuliah sekelas sering kali berdebat untuk menentukan film mana yang mau kita tonton di kos. Kawan saya senang dengan film-film yang cukup ditonton tanpa berpikir. Horor atau drama komedi menjadi pilihan. Sementara saya senang menonton film yang punya makna mendalam. Akhirnya, yang bayar yang menentukan hahaha…Di masa itulah saya menonton film-film horor seperti Pulau Hantu, Nenek Gayung, dsb yang lebih banyak ‘menjual bodi dan lenguhan perempuan’ ketimbang seni menikmati rasa takut itu sendiri. Meski bukan perbandingan yang apple-to-apple, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas membuktikan bagaimana adegan seks bisa dimasukkan ke dalam film Indonesia tanpa perlu disensor dan tanpa menimbulkan kesan murahan atau ‘jual bodi’.

Meski begitu, tak semua adegan seks di film ini bisa saya ‘nikmati’. Adegan antara Ajo dan Mak Jerot, Ajo dan Iteung, Rona Merah dan Codet, masih bisa saya rasakan sebagai sebuah ‘seni’, bagian dari cerita yang memang harus ada. Namun, saya tidak mendapatkan feel yang sama dari adegan-adegan Budi Baik. Mungkin ini pengalaman berharga. Saya seperti diberi kesempatan menonton seniman sekelas Reza Rahardian menjajal peran yang tak biasa, namun rasanya ia ‘turun kelas’ menjadi pemeran adegan semi.

Sebelum menonton film ini, saya menyaksikan wawancara Reza di podcast Deddy Corbuzier. Ia menceritakan betapa kuatnya unsur toxic masculinity dalam film ini. Tokoh Budi Baik yang senang memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kepuasan seksual seakan menjadi antitesis dari Ajo Kawir yang impoten. Deddy menyimpulkan, film ini bercerita tentang persaingan antara dua orang laki-laki, yang satu tidak bisa ngaceng dan yang satunya jago berhubungan seksual.

Pesan ini seharusnya bisa tersampaikan dengan kuat di scene-scene perselingkungan antara Iteung dan Budi, juga momen-momen Ajo dipenjara. Namun, beberapa scene seakan melewatkan bagian penting ini. Adegan bujuk rayu Budi kepada Iteung seharusnya bisa mengeksplorasi secara lebih kuat pertentangan antara ‘si jantan’ dan ‘si letoy’, termasuk bagaimana keduanya dipandang di tengah masyarakat yang toksik. Begitu pula adegan-adegan di penjara yang seharusnya bisa menggambarkan dengan lebih kuat bagaimana hancurnya harga diri Ajo ketika dikhianati, ditambah dengan background bahwa dirinya impoten. Dalam hemat saya, adegan-adegan di atas kurang mampu mengeksplorasi bagian inti atau puncak dari toxic masculinity yang ingin disajikan. Scene utama itu justru fokus pada peristiwa dan dampak perselingkuhannya.

Multi-genre

Di salah satu scene, di sebuah pantai yang kotor, tampak secarik kertas bertuliskan, “Aku mencintaimu Ajo Kawir.” Ini adalah kertas pembungkus kue yang dibuat oleh Iteung untuk suaminya. Ini adalah tanda permintaan maaf sekaligus pernyataan kerinduan dari seorang istri yang telah dihamili lelaki lain. Iteung mengantarkan kue itu kepada Ajo yang mendekam di penjara, namun ditolak.

Saya sempat bertanya dalam hati kenapa tulisan itu ada di pantai, sebelum akhirnya dikejutkan oleh wajah seorang perempuan yang tiba-tiba muncul dari balik kertasnya. “Ini bagian horornya,” kata teman di sebelah saya.

Oh, ada horornya?

Mungkin melihat percampuran antara drama dan action sudah biasa. Atau drama dan komedi, action dan komedi, horor dan komedi? ‘Anehnya,’ Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menggabungkan antara drama, action, komedi, dan horor sekaligus. Jelita (Ratu Felisha), versi hantu dari Rona Merah, keluar saat Iteung sering kali mengirimkan sesajen berisi bunga dan makanan di bekas rumah Rona Merah. Tidak dijelaskan alasan Iteung melakukan hal itu. Namun, makanan itu dilahap oleh Jelita.

Sosok Jelita kembali muncul dengan tiba-tiba setelah Ajo Kawir keluar dari penjara dan bekerja sebagai supir truk. Ia diceritakan sebagai perempuan yang numpang di truk Ajo dan menawarkan hubungan seksual sebagai bayaran. Ajo memberi tumpangan, namun sempat menolak saat Jelita menawarkan tubuhnya. Ajo berterus terang bahwa ia memiliki istri. Namun alam berkata lain. Mereka terjebak hujan dan terlibat dalam perbincangan cukup erotis di truk. Di situlah Jelita berhasil membangunkan kembali burung Ajo yang lama tertidur.

Ada banyak hal ‘unik’ di scene-scene horor ini. Meskipun sempat mengejutkan di awal, namun unsur mistis dan horor ini sama sekali tidak menawarkan rasa takut. Cerita berjalan seperti biasa dan cenderung ‘aneh’. Sosok Jelita muncul dan terlihat baik siang maupun malam hari. Sosoknya juga dapat dilihat oleh siapapun yang berada di lokasi itu. Hal ini sangat bertentangan dengan anggapan umum tentang hantu yang menawarkan ketakutan, sebagai sosok yang kasat mata, dan mostly beroperasi di malam hari. Tapi siapa yang bisa menyalahkan konsep ini? Bukankah wujud dan konsep hantu juga bagian dari kultur yang dibentuk oleh manusia itu sendiri?

Hal aneh lainnya tampak ketika Jelita tiba-tiba muncul dari air di pantai, berjalan mengikuti Pak Gembul, kemudian menusukkan belati ke punggungnya. Jelita tampak berpakaian hitam dengan penutup kepala ala ninja. Usai menuntaskan misinya, ia berjalan membuka topengnya.

Genre lain yang juga disajikan dalam film ini adalah laga (action). Unsur ini tampak dari awal hingga akhir. Ajo diceritakan sebagai jagoan Bojongsoang, Iteung dan Budi adalah teman silat seperguruan, begitu juga Ki Jempes kawan seruangan Ajo di penjara. Secara personal saya menikmati adegan perkelahian itu sebagai sesuatu yang ‘nampak real’. Hanya di satu scene yang membuat saya dan kawan sempat tertawa, adegan ketika Ajo dan Iteung jatuh dari mesin pabrik yang cukup tampak animasinya. Selain itu, bagi saya cukup mulus.

Sebuah Percakapan antara Penonton yang Membaca Novel dan yang Tidak

Usai menonton film tersebut, saya dan Pakdhe berbincang sembari lesehan menyantap nasi teri di pinggir jalan. “Kenapa ya sosok Jelita tuh harus digambarkan dengan penampakan seperti itu? Kaya perempuan yang operasi wajah habis-habisan. Memangnya di buku ditulis kaya gitu, Pakdhe?”

“Enggak ada sih. Seingatku enggak ada.”

Hingga kini saya belum mendapatkan jawaban. Apakah untuk menggambarkan tren operasi wajah pada masa itu? Atau untuk menggambarkan Jelita yang wajahnya jauh dari kata cantik seperti tertulis di novel? Dan kenapa Jelita harus pakai baju ninja?

Dari obrolan itu, terungkap adanya banyak part yang -menurut kami- hilang dari film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Ada juga part yang dimunculkan meskipun tidak ada di novel Eka Kurniawan. Menurut Pakdhe, Edwin terkesan ingin memasukkan banyak penggalan cerita, tapi tidak tuntas.

Dalam proses alih wahana, menghilangkan dan menambahkan suatu unsur tentu sah-sah saja. Apalagi ketika kita melihat film ini sebagai karya yang harus mampu berdiri sendiri. Namun, keutuhan karya ini tampak dari kemampuannya untuk menyampaikan pesan secara utuh juga. Kesamaan pesan, gagasan, perasaan, amanat, atau sekadar suasana menjadi tolak ukur penting keberhasilan alih wahana tersebut. Sejauh manapun eksplorasi yang dilakukan, sebanyak apapun penambahan dan pengurangan, biasanya tidak akan luput dari cerita-cerita intinya. Sayangnya, beberapa scene hilang itu justru adalah bagian inti.

Misalnya, adegan pemerkosaan dan pembunuhan Rona Merah berakhir ketika Ajo Kawir kecil dibawa masuk ke dalam rumah. Scene ini menjadi kunci terungkapnya alasan mengapa Ajo Kawir mengalami impotensi. Dalam novelnya diceritakan, Ajo Kawir dipaksa untuk melihat adegan pemerkosaan dan dipaksa juga untuk memperkosa Rona Merah. Dari peristiwa inilah timbul trauma berkepanjangan yang menyebabkan burungnya tidak bisa berdiri.

“Trus kalau di buku diceritakan kenapa burungnya Ajo Kawir bisa berdiri lagi. Ceritanya waktu Ajo Kawir berhenti di pom bensin, Jelita pamit ke toilet. Trus dia minta air ke Ajo dengan alasan enggak ada air di toilet. Waktu Ajo Kawir ngasih airnya itu, ditarik sama Jelita. Nah di situ burungnya bisa berdiri lagi.”

Bagian ini diubah menjadi scene ngobrol di truk, di tengah hutan, saat hujan turun deras. Jelita menceritakan kisah erotis kepada Ajo Kawir, yang sebenarnya peristiwa pemerkosaan Iteung. Meski secara implisit tetap tersampaikan bahwa di momen ini burung Ajo Kawir bisa berdiri, namun rasa yang disampaikan cenderung lain. Di film ini, adegan Jelita berakhir ketika ia menyentuh celana Ajo Kawir, namun Ajo menghindar. Jelita kemudian berteriak, “Burungmu sangat keras bagai batu,” sebelum akhirnya menghilang. Saya membayangkan, suasana ini akan menjadi lebih emosional ketika disampaikan melalui visual atau simbolisasi ketimbang perkataan gambling dalam beberapa detik.

Akhirnya saya tiba pada kesimpulan bahwa Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memang menawarkan banyak keunikan dan pengalaman menonton film Indonesia yang berbeda. Film ini, begitu pula Edwin sebagai sutradara, layak menyabet banyak penghargaan. Misinya untuk membawa kembali isu-isu di era 80-an yang rupanya masih hangat hingga saat ini cukup tersampaikan. Cukup tergambarkan bahwa empat puluh tahun tak cukup membuat banyak perubahan, kecuali dalam tampilan fisik dan properti. Hingga kini sarapan pagi atau makan malam kita tiap hari masih ditemani berita pemerkosaan dan pembunuhan. Kasus penyalahgunaan jabatan, persaingan politik yang tidak sehat, kekerasan yang melibatkan oknum bayaran, isu-isu seksualitas toksik, semuanya masih menjadi rapal para jurnalis dalam acara-acara talkshow.

Jika dibandingkan dengan alih wahana lain yang pernah dilakukan Edwin sebelumnya, misalnya dalam Aruna dan Lidahnya, film ini memiliki tingkat kerumitan yang menurut saya jauh lebih tinggi. Banyaknya tokoh yang masing-masing memiliki karakter unik, khas, dan kuat, yang disebut Reza ‘berlapis-lapis’ membuat alih wahana ini memang tak mudah diwujudkan secara utuh dan tuntas. Belum lagi jika bicara tentang pesan berlapis dan genre yang bercampur dalam satu film. Tentu ini menyajikan tantangan lebih bagi kru dan para pemain.

Meski demikian, harus diakui masih ada banyak sisi yang bisa dan perlu dieksplorasi untuk membuat film ini lebih spektakuler, agar dapat dinikmati oleh penonton yang membaca novel atau tidak. Sebagai pengagum, saya juga memiliki catatan khusus bagi Reza Rahardian. Please, you can do so much better in this movie

Leave a comment